Bung Tomo Pemberontak dari Kampung Blauran
SUTOMO antusias pergi ke Jakarta pada awal Oktober 1945. Kepala Seksi Penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya ini penasaran terhadap situasi Ibu Kota setelah pasukan Inggris mendarat di Indonesia pada akhir bulan sebelumnya.
Ternyata, di Jakarta. Sutomo kecewa. la menyaksikan iring-iringan truk pasukan Sekutu lalu-lalang di jalanan. Pemuda 25 tahun ini juga melihat bendera Belanda berkibar di depan bekas markas besar tantara Jepang di pusat Jakarta.
Sutomo membandingkan situasi itu dengan peristiwa dua pekan sebelum ia tiba di Jakarta. Ketika itu ratusan pemuda merobek warna biru bendera Belanda, menjadikannya bendera merah-putih, di atas Hotel Oranje, Surabaya. Sutomo lalu memimpin ratusan pemuda yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Perbedaan situasi antara Jakarta dan Surabaya, menurut William H. Frederick dalam buku Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), merupakan salah satu faktor pemicu yang membakar semangat Sutomo. "Kita sudah memperoleh kemerdekaan, tapi kenapa rakyat di Ibu Kota terpaksa hidup dalam ketakutan?" kata Sutomo dalam buku itu.
Perjalanan ke Jakarta itu menentukan peran yang dilakoni Bung Tomo—begitu dia dipanggil—dalam pertempuran di Surabaya sebulan kemudian.
Di Jakarta, ia menemui Presiden Sukarno. Pemimpin kantor berita Antara, Adam Malik, mengantarkannya hingga pintu gerbang gedung Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Di depan Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Muda Penerangan Ali Sastroamidjojo, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. ia menceritakan perkembangan Surabaya, termasuk keberhasilan rakyat melucuti senjata Jepang.
Sutomo mendesak pemerintah pusat meningkatkan semangat rakyat agar mempertahankan kemerdekaan. la menyatakan hendak mengoperasikan pemancar radio di Surabaya, yang isi siarannya bisa didengar di seluruh Indonesia. Sutomo ingin mengisi siaran radio dengan pidato berapi-api. "Agar semangat revolusi rakyat tidak kendur, " katanya.
Keinginan Sutomo ditentang Amir Sjarifuddin. "Siaran radio bersifat agitasi dapat memperkeruh suasana di dalam negeri," katanya, Amir hanya mengizinkan
Sutomo mengisi siaran radio dengan sejumlah program khusus yang disiarkan ke luar negeri. Tujuannya: kernerdekaan Indonesia diakui dunia internasional. Amir mengusulkan nama pemancar tersebut Voiceofthe Indonesian Revolt.
Pulang ke Surabaya, Bung Tomo berbohong kepada Soedirman dan Doel Arnowo. Dia mengatakan Amir Sjarifuddin telah memberi izin untuk menyiarkan pidato yang membakar semangat rakyat Surabaya.
Sutomo berhenti dari dunia jurnalistik. la memisahkan diri dari Pemuda Republik Indonesia, yang diketuai Soemarsono. Bung Tomo lalu membentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada 12 Oktober 1945. Sempat ditentang kubu Soemarsono, pembentukan organisasi ini memperoleh restu dari petinggi militer Jawa Timur, Moestopo.
Moestopo juga yang belakangan memberikan pemancar radio bekas Jepang yang dioperasikan Tentara Keamanan Rakyat. Di mata Moestopo, Sutomo punya bakat di bidang agitasi dan propaganda. Pemancar ini kemudian disempurnakan oleh Hasan Basri, anggota BPRI.
Organisasi bentukan Bung Tomo melatih jibaku atau barisan berani mati. Mereka berlatih antara lain teknik menggunakan meriam dan granat. Tempat latihannya di Tembok Dukuh, Surabaya. Anggota jibaku banyak direkrut dari luar Surabaya.
Di bawah BPRI, Sutomo membentuk Radio Pemberontakan. Di masa-masa awal, radio ini meminjam pemancar milik pemerintah. Satu hari sejak BPRI didirikan, pidato Bung Tomo mengudara. Orasinya menggetarkan. Suaranya yang lantang menarik perhatian banyak orang. Bukan cuma penduduk Surabaya, melainkan juga warga Kediri, Malang, Madiun, Mojokerto, Solo, hingga Yogyakarta. Dalam waktu singkat, jumlah anggota BPRI menembus 3.000 orang.
Moechtar, bekas Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat—majalah berbahasa Jawa di Surabaya—salah satu yang setia mendengarkan pidato Bung Tomo. Saat mengungsi dari Yogyakarta ke Kediri, Moechtar mengeluarkan radio kayu merek Philips setiap pukul lima sore. Bersama puluhan warga Kediri, ia mendengarkan orasi Sutomo di halaman rumah pamannya. "Saya merinding mendengar pidato itu," kata Moechtar, kini 90 tahun.
Pidato dengan suara berapi-api itu dinanti para pejuang Tentara Keamanan Rakyat. "Mereka berkumpul di bawah tiang-tiang speaker," kata sejarawan Rushdy Hoesein. Sejak Sutomo berpidato, laskar dari luar kota berbondong-bondong ke Surabaya. Pidato Sutomo terus mengudara, bahkan saat pasukan Indonesia mundur dari Surabaya. Melalui Radio Pemberontakan, ia memberikan komando bagi para pejuang untuk merebut kembali tempat-tempat penting di Surabaya.
UNTUK mengerjakan edisi ini, kami menemui Sulistina. Perempuan 90 tahun istri Bung Tomo ini masih ingat sebagian besar momen penting hidupnya bersama sang suami. Sulistina ingat, setiap pukul setengah enam sore, Bung Tomo pergi ke pemancar radio milik pemerintah untuk berpidato mengobarkan semangat anak-anak muda Surabaya.
Cerita mengenai Bung Tomo, dari pertempuran Surabaya, terjun ke dunia politik periode 1950-an, hingga menjadi tahanan Orde Baru, kami perkaya melalui serangkaian diskusi bersama Bambang Sulistomo (anak kedua Sutomo), sejarawan Rushdy Hoesein, dan Hadidjojo Nitimihardjo (putra Maruto Nitimihardjo, salah satu tokoh Menteng 31).
Kami juga mendatangi sejumlah lokasi yang pernah bersinggungan dengan Sutomo di Surabaya. Di antaranya rumah masa kecil di Tembok Dukuh, markas Radio Pemberontakan di Jalan Mawar, dan sebuah gedung tua bekas kantor berita Jepang Domei—tempat Sutomo pernah bekerja.
Di tengah pencarian bahan dan reportase, Rushdy menyodorkan koleksl film dokumenter untuk menggambarkan bagaimana pertempuran Surabaya terjadi pada masa itu. la juga meminjamkam sejumlah koleksi bukunya tentang Bung Tomo. Pengaruh dan isi pidato Sutomo kami peroleh dari kesaksian Moechtar, bekas Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat, yang kini menetap di Pucang Asri, Surabaya. Beberapa dokumen lawas di Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan Nasional yang berkaitan dengan peran Sutomo kami telusuri.
Karakter Bung Tomo sebagai pemimpin terlihat saat berperan melucuti senjata Jepang di gedung Don Bosco—gudang senjata terbesar di Surabaya. Peristiwa itu terjadi beberapa hari sebelum perobekan bendera Belanda.
Bakat kepemimpinan Sutomo ditempa saat pemuda kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, ini menjadi aktivis Kepanduan Bangsa Indonesia. Belakangan, Sutomo juga yang mengirim senjata sebanyak empat gerbong kereta dari Surabaya ke Jakarta.
Sutomo membantu Jenderal Soedirman dalam mereorganisasi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia. Ia mengkritik program rasionalisasi angkatan perang yang diusulkan Amir Sjarifuddin. Bung Tomo tak sungkan mengkritik Sukarno, terutama di era Demokrasi Terpimpin. Sutomo juga pernah merasakan apaknya penjara di era Orde Baru karena mengkritik keras kebijakan Soeharto. Pendek kata, kisah hidup Bung Tomo penuh warna.
Sebelum wafat, Sutomo mewanti-wanti kepada keluarganya agar dia tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, tapi dikebumikan di tengah rakyat. Setelah melalui proses berliku lebih dari dua dekade, pemerintah menetapkan Sutomo sebagai pahlawan nasional pada 2008.
Sepak terjang Sutomo tentu tidak sempurna. Dalam pidatonya, ia beberapa kali keceplosan mengungkap posisi para pejuang Indonesia sehingga serdadu musuh berhasil mengendus mereka.
Pada puncak pertempuran 10 November 1945, Sutomo tidak berada di Surabaya, tapi di Malang, menghindari kejaran tentara Sekutu. Saat terjun ke dunia politik, partai yang ia dirikan—Partai Rakyat Indonesia-tidak banyak memperoleh dukungan dan hanya mendapatkan dua kursi pada Pemilihan Umum 1955.
Pembaca, edisi kali ini kami susun untuk mengungkai spirit perjuangan Bung Tomo dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Semangat pengorbanannya demi Tanah Air tidak akan pernah ketinggalan zaman. •
Sumber: Majalah Tempo
Posting Komentar untuk "Bung Tomo Pemberontak dari Kampung Blauran "