Akuntabilitas Dana Kampanye Tidak Ditegakan, Berakibat Maraknya Balas Jasa Kepada Pemodal Politik
Survey Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) di tahun 2015, 2017, 2018 menunjukkan bahwa Paslon yang melaporkan penerimaan/pengeluaran dana kampanye dengan sebenarnya itu kurang dari 50%, artinya laporan itu hanya formalitas (Kompas 13/11/2020). Mengapa hal ini terjadi? Ya, itu yang kita kenal dengan cukong atau pemodal politik.
Jadi tidak usah heran, getun, gusar, nesu, gigit jari, jika kemudian bisa saja lahir kebijakan-kebijakan birokrasi dan wakil rakyatnya untuk membangun proyek-proyek APBN/APBD yang digarap oleh sang pemodal. Selain harus bayar balas jasa atas sumbangan/upeti politik, ada juga kemungkinan para pemimpin yang terpilih tersebut memang disandera karena sumbangan politik tersebut sengaja disetor diatas batas peraturan. Jangan heran jika kemudian bisa lahir produk hukum, penunjukkan pejabat, dan aturan-aturan yang dianggap balas budi yang menguntungkan para pemodal politik tersebut.Isu dana kampanye sejak dulu sampai kini tidak pernah selesai padahal persoalan dana kampanye ini sudah digaungkan banyak media massa online maupun koran cetak konvensional. Tidak ketinggalan seruan dari para pengamat politik, penyelenggara pemilu, dan bahkan tokoh masyarakat di negara ini. Namun tampaknya semua perdebatan terkait akuntabilitas atau pertanggungjawaban penggunaan dana kampanye berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak pernah diseriusi. Mengapa persoalan terkait transparansi laporan dana kampanye perlu diseriusi di negara ini? Jawabnya adalah untuk menutup celah Korupsi, Kolusi, serta Nepotisme (KKN).
Kurangnya transparansi dana kampanye akan membuka celah terjadinya kemungkinan tindak korupsi bagi paslon yang terpilih. Ini bukan rahasia lagi. Banyak yang sudah paham. Namun anehnya, belum ada pergerakan masif serta tindakan tegas pentingnya akuntabilitas yang transparan mengenai pemasukan dan pengeluaran dana bagi setiap Paslon. Ini mengindikasikan betapa sangat lemahnya penegakan hukum di negara ini. Mau sampai kapan dibiarkan? Hukum yang berlaku harus ditegakkan. Masalah Paslon tidak melaporkan pertanggungjawaban penerimaan/pengeluaran dana kampanye ini sudah terjadi berulang-ulang dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Ini mengindikasikan lemahnya penegakan hukum.
Fakta di lapangan terkadang ditemui secara gamblang, ada Poslon yang diduga kuat melanggar aturan dana kampanye. Paslon ini terindikasi tidak melaporkan pemasukan dan pengeluaran dana kampanye secara lengkap. Anehnya, Paslon tersebut tidak mendapatkan sanksi apapun sesuai peraturan yang berlaku.
Undang-undang Pilkada memberikan ketentuan yang sama ketatnya untuk pelanggaran dana kampanye. Undang-Undang Pilkada mengatur bahwa setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditetapkan dapat dipidana dengan pidana penjara dan/atau denda. Tanpa penegakan hukum yang baik, aturan sebagus apapun tidak ada artinya.
Tingginya ongkos politik membuat calon yang maju mau tidak mau harus memikirkan dana yang mesti disiapkan atau dikeluarkan. Ada biaya pencalonan atau "mahar politik" dalam partai. Ada dana kampanye seperti spanduk atau atribut kampanye, biaya iklan kampanye di media online maupun konvensional serta televisi nasional, menyiapkan dana bagi tim pemenangan, membayar tim medsos untuk memberikan citra yang baik bagi Paslon yang maju, dan lain sebagainya. Paslon juga mesti menyiapkan dana bagi saksi pada hari perhitungan suara. Ada juga dana serangan fajar atau politik uang yang diduga kerap dilakukan oleh calon kepala daerah. Semua pengeluaran ongkos politik ini kalau ditotal dalam rupiah bukan angka yang sedikit.
Yang namanya "mahar politik" dalam sebuah partai sangat tidak sehat. Sebab hal ini kelak akan menjadi orientasi bagi Paslon melakukan korupsi jika terpilih nanti, supaya dapat mengembalikan uang mahar yang telah digelontorkan tersebut.
Jelaslah bahwa dengan ongkos politik yang sangat besar itu sangat memungkinkan seorang calon yang menang dalam pemugutan suara dan akhirnya duduk dalam kekuasaan akan memikirkan cara mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya. Sebab harus membayar balas jasa atas sumbangan atau upeti politik. Caranya, bisa saja dengan jalan pintas melalui korupsi. Dan yang paling sering adalah melalui cara membuat kebijakan-kebijakan birokrasi dan wakil rakyatnya, dengan tujuan untuk memuluskan pembangunan proyek-proyek APBN/APBD yang digarap oleh sang pemodal. Bambang Sulistomo
Posting Komentar untuk "Akuntabilitas Dana Kampanye Tidak Ditegakan, Berakibat Maraknya Balas Jasa Kepada Pemodal Politik"