Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Orasi, Agitasi, dan Propaganda Bung Tomo di Radio Pemberontakan Jalan Mawar Surabaya

Orasi, Agitasi, dan Propaganda Bung Tomo di Radio Pemberontakan Jalan Mawar Surabaya
Putra Bung Tomo, HM Bambang Sulistomo.SiP, MSi bersama Anggota Dewan Pakar IP-KI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Dharmo L Mertaperwira, SE, M.Si ziarah ke makam  alm Bung Tomo dan Ibunda almarhumah Sulistina Sutomo

JAKARTA - Hari Pahlawan 10 November yang kita peringati setiap tahun, selalu identik dengan nama tokoh pahlawan Bung Tomo yang memiliki nama asli Sutomo. Bung Tomo adalah tokoh penggerak dalam peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Jasa-jasanya sangat besar dalam upaya mengusir penjajah yang ingin kembali berkuasa di negeri ini, tepatnya menjajah kota Surabaya.

Semasa hidupnya, sebagai pemuda asal kota Surabaya, Bung Tomo tidak sudi kemerdekaan Indonesia dilecehkan. Dengan kemampuan berpidatonya yang sangat baik, Bung Tomo berhasil membakar semangat arek-arek Suroboyo supaya berani mempertahankan dan mengusir penjajah, merdeka atau mati. Agitasi dan propaganda Bung Tomo kepada warga Surabaya ini rutin disiarkan setiap hari melalui Radio Pemberontakan, sejak Oktober hingga puncaknya di bulan November 1945.

Orasi Bung Tomo yang disiarkan melalui Radio Pemberontakan di Jalan Mawar Surabaya pada waktu itu, sangat menggetarkan arek-arek Suroboyo. Puncaknya, pada tanggal 10 November 1945 rakyat berhasil mengusir penjajah. Peristiwa heroik pidato Bung Tomo ini tercatat dalam sejarah bangsa karena sangat berperan menggerakkan rakyat untuk bersatu mengusir penjajahan. Peristiwa heroik di Surabaya inilah yang kita peringati sebagai hari Pahlawan setiap tanggal 10 November. 

Orasi, Agitasi, dan Propaganda Bung Tomo di Radio Pemberontakan Jalan Mawar Surabaya
 Rumah Radio Pemberontakan Jalan Mawar Surabaya tempat Bung Tomo berorasi

Sayangnya, rumah tempat Bung Tomo muda berorasi membakar semangat arek-arek Suroboyo ini sudah tidak berbekas atau berpindah tangan kepada pihak lain, bangunan bersejarah ini sudah dirobohkan. Hal ini sangat disayangkan oleh keluarga besar Bung Tomo terutama istri almarhum Bung Tomo,  almarhumah Sulistina Sutomo. 

Sejumlah pemuda dan arek-arek Suroboyo yang peduli dengan jejak sejarah pahlawan Bung Tomo juga sempat melayangkan protes kepada pemda setempat maupun kepada para pihak terkait. Namun perjuangan untuk mengembalikan bangunan bersejarah rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo di Jalan Mawar Surabaya belum mendapat titik terang. Kita masih berharap semoga suatu saat ada jalan tengah dan musyawarah untuk membangun kembali repika gedung Radio Pemberontakan Bung Tomo di Jalan Mawar Surabaya tersebut. 

Usaha mengembalikan lagi bangunan bersejarah/replika ini perlu didukung serius oleh semua pihak sebagai wujud penghargaan kepada jasa-jasa pahlawan bangsa. Bangunan bersejarah ini dapat menjadi bukti sejarah bagi kaum muda bangsa ini bahwa di Jalan Mawar inilah dahulu pernah menjadi tempat Bung Tomo dan rekan-rekan seperjuangannya membakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Kewajiban kita adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diperoleh dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata untuk kemakmuran rakyat. 

Bung Tomo mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.

Sutomo atau Bung Tomo lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1920. Ayahandanya bernama Kartawan Tjiptowidjojo. Sang Ayah pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan dan juga sempat menjadi staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai di perusahan ekspor-impor Belanda. 

Di usia muda Bung Tomo aktif dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Pada usia 17 tahun, ia menjadi tokoh pemuda terkenal sebab berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.

Selain aktif di organisasi kepanduan, Bung Tomo serius menekuni profesi jurnalis. Beliau tercatat pernah menjadi wartawan di Harian Soeara Oemoem di Surabaya tahun 1937. Selang setahun kemudian, Bung Tomo berhasil menduduki jabatan sebagai Redaktur Mingguan Pembela Rakyat. Beliau juga pernah menjadi wartawan dan penulis di koran berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya tahun 1939.

Saat pendudukan tentara Jepang di negeri ini, Bung Tomo tetap meneruskan perjuangannya melalui profesinya sebagai wartawan. Di tahun 1942-1945 Bung Tomo sempat bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang, Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya. 

Tak banyak yang tahu, ternyata saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berkumandang, Bung Tomo sigap memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang. Taktik atau ide penggunaan bahasa Jawa ini dipilih dengan maksud untuk mengelabuhi tentara Jepang. Selanjutnya setelah Jepang berhasil diusir dari negeri tercinta maka Bung Tomo yang dikenal pemberani dan pembela rakyat itu kemudian diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara untuk wilayah Surabaya.

Sebenarnya di tahun 1944 pada saat Sutomo menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tidak ada orang yang mengenalnya. Namun situasi ini justru menguntungkan sehingga Bung Tomo dan rekan-rekan seperjuangannya dapat mempersiapkan perananan besarnya yaitu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Hingga pada tanggal 19 September 1945, terjadi sebuah insiden yang mencabik-cabik jiwa nasionalis rakyat. Insiden ini terjadi di Hotel Yamato, Surabaya. Sekelompok orang Belanda memasang bendera mereka yang berwarna merah-putih-biru. Rakyat menjadi sangat marah saat melihat ada bendera negara lain dikibarkan di wilayah negara kita yang sudah resmi merdeka. Akibat insiden di Hotel Yamato ini, ada seorang Belanda tewas. Rakyat naik hingga ke dekat tiang bendera di atas bangunan hotel. Kemudian dengan gerakan sigap bendera berwarna merah-putih-biru itu diturunkan. Selanjutnya warna biru pada jahitan bendera itu dirobek, tinggallah warna merah-putih. Rakyat di sekitar hotel bersorak, bendera merah putih tersebut langsung dikibarkan.

Sementara itu, pasukan Sekutu tiba di Jakarta pada 30 September 1945. Ternyata di dalam pasukan sekutu itu tentara Belanda ikut dalam rombongan. Dengan seenaknya pasukan Belanda segera mengibarkan Bendera Belanda mana-mana. Bung Tomo pada masa itu menjadi wartawan Kantor Berita ANTARA dan merangkap sebagai kepala bagian penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Pada masa itu PRI merupakan organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya.

Melihat situasi yang sudah tidak kondusif, maka di Jakarta Bung Karno meminta kepada para pemuda untuk menahan diri atau tidak memulai konfrontasi bersenjata. 

Setelah Bung Karno memberi peringatan tersebut, Bung Tomo kembali ke Surabaya. Bung Tomo mulai resah sebab faktanya bahwa Indonesia termasuk Surabaya telah memperoleh kemerdekaan secara sah.  Namun rakyat Indonesia yang berdomisili  di Jakarta terpaksa harus hidup dalam ketakutan akibat kedatangan kembali penjajah yang ingin berkuasa lagi di tanah-air yang sudah merdeka ini. Keresahan Bung Tomo melihat situasi rakyat dan bangsanya ini dicatat oleh sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, Amerika Serikat. 

Rasa cinta Bung Tomo pada tanah air dan rasa hormatnya pada rakyat serta para pahlawan yang telah gugur demi Indonesia merdeka, membuat hati nuraninya berkata bahwa penjajah tidak boleh berkuasa lagi. Kita sebagai pemuda bersama rakyat harus mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah yang sudah datang lagi dan ingin menguasai kekayaan negeri ini.

Berbekal prinsip dan keyakinannya demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maka pada bulan Oktober dan November 1945, Sutomo menjadi salah satu Pemimpin yang sangat penting. Beliau berhasil menggerakkan rakyat Surabaya agar jangan mundur. Saat itu wilayah Surabaya sedang diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. 

Tanggal 9 November, ada pamflet berisi ultimatum yang ditunjukkan kepada para staf Gubernur Soerjo. Pamflet berisi ultimatum itu disebar lewat udara. Isi dari ultimatum tersebut berbunyi: pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus menyerahkan diri paling lambat pukul 18.00 pada hari itu dengan tangan di atas kepala. Kedua, semua senjata yang dimiliki rakyat maupun tentara kita harus diserahkan. Point penting selanjutnya adalah, pembunuh Mallaby harus menyerahkan diri. Apabila  ultimatum yang telah dikeluarkan itu diabaikan, maka sekutu dipastikan akan mulai melakukan penyerangan pada pukul 06.00 pagi, tanggal 10 November 1945.

Orasi, Agitasi, dan Propaganda Bung Tomo di Radio Pemberontakan Jalan Mawar Surabaya
Bung Tomo di Radio Pemberontakan Jalan Mawar, Surabaya

Pada peristiwa pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo berinisiatif mengerahkan kemampuannya sebagai orator ulung melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jalan Mawar, Radio Pemberontakan. Saat itu, Bung Tomo mampu membangkitkan kesadaran dan semangat rakyat untuk berjuang membela negara melawan tentara Inggris dan NICA-Belanda. 

Berdasarkan fakta-fakta sejarah, maka sudah jelaslah bahwa semasa hidupnya, Bung Tomo sangat berperan besar dalam mendukung perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu di tahun 2007, Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) mendesak  kepada pihak pemerintah yang berkuasa agar segera memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 10 November 2008, akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan kepada Bung Tomo. Pemberian gelar pahlawan ini  bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan di Jakarta oleh  Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh.

Setelah Kemerdekaan, tanggal 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah saat usianya genap 61 tahun. Pada waktu itu beliau sedang menunaikan ibadah haji. Bung Tomo berangkat bersama dua putri dan istri tercintanya, Sulistina. 

Di tengah situasi duka setelah kepergian almrahum menghadap Allah SWT, dua minggu kemudian,  keluarga Bung Tomo dipanggil oleh Kedutaan Besar Arab. HM Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo) membawa kabar baik bahwa Raja Fadh yang merupakan Raja Arab Saudi melakukan perundingan dengan lima menteri tentang pengembalian jenazah Bung Tomo. Pihak kerajaan memutuskan bahwa jenazah Bung Tomo diizinkan dibawa kembali ke tanah air Indonesia.

Sekitar 4 bulan setelah Bung Tomo dimakamkan di tanah suci, salah seorang putra alm Bung Tomo, yaitu HM Bambang Sulistomo bersama dengan seorang dokter pribadi alm Bung Tomo serta seorang ahli patologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dan seorang sahabat dekat Bung Tomo, berangkat ke tanah suci untuk mengurus proses memindahkan jenazah almarhum ke tanah air. 

Tepat pada tanggal 3 Februari 1982,  jenazah Bung Tomo kemudian dibawa ke Surabaya, dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel Rejo. Pemakaman tersebut dilakukan dengan upacara kemiliteran.


Posting Komentar untuk "Orasi, Agitasi, dan Propaganda Bung Tomo di Radio Pemberontakan Jalan Mawar Surabaya"